Bismillaahirrahmanirrahiim.
Sudah masuk tahun kelima sejak tulisan terakhir saya unggah di laman blog pribadi ini. Sebuah cerminan minim produktivitas tulisan dalam beberapa tahun terakhir. Istilahnya waktu masih ada Multiply, ini rumah sudah banyak ilalangnya dan mesti dirapikan. Dan menjadi ujian konsistensi produktivitas di tengah beragam cara dan media untuk berbagi. Mulai dari tulisan, audio, maupun audio-visual.
Yap, bisa jadi produktivitas dari tulisan turun secara signifikan, jangankan tulisan ilmiah dan di blog, di status media sosial yang setidaknya di tiga platform: Facebook, Instagram dan Twitter, bisa dilihat intensitas aktivitas sangat berkurang. Bisa beragam kombinasi kemungkinan faktor dan indikasi.
Di tulisan ini ingin berbagi sedikit cerita pekan lalu, di perjalanan baru keluar dari kantin kampus (math’am). Cukup sedikit sepenglihatanku mahasiswa berwajah Asia, dan kalau ada wajah Asia yang menurut penilaian ala-ala saya bukan dari Asia Tenggara, kecenderungannya adalah dari Cina/Tiongkok. Tentu saja ini sudah masyhur di berbagai negara dan kampus top dunia, pelajar, peneliti dan civitas akademika dari Negeri Tirai Bambu ada banyak bertebaran, salah satunya tentu faktor jumlah penduduknya yang sangat banyak. Faktor lain, ya bisa budaya dan ajaran dari keluarga, turun temurun mereka untuk merantau. CMIIW.
Poin tulisan ini bukan untuk mencoba menganalisis sosio demografi atau aspek kultural politis persebaran mahasiswa Cina, selain karena bukan bidang ilmu yang kudalami, apalagi bidang keahlian, tapi lebih ke kisah pertemuan dengan mahasiswa Cina tersebut.
Acapkali jika bertemu dengan orang-orang dari negara yang saya punya pengetahuan bahasanya (meskipun sedikit), terlebih di dalam lingkungan kampus, saya akan berinisiatif untuk menyapa dengan kalimat memulai pembicaraan dalam bahasa mereka, sebut saja bahasa Jepang, Tagalog dan Mandarin, yang saya pernah belajar, meski itu baik dalam hitungan hari secara informal, maupun secara formal di SMA (bahasa Jepang).
Saya berpikiran, bisa berbahasa asing, bisa lebih mudah mengakrabkan kita, terlebih untuk membuka percakapan, selain juga bentuk menghargai. Itu di antara pelajaran berharga merantau 5.5 tahun di kota pelajar Yogyakarta (atau Jogja?). Bisa dikatakan juga sisa-sisa peninggalan cita-cita menjadi SekJend PBB saat SMA dahulu, yang (bisa jadi) menjadi faktor ketertarikan diri ini belajar bahasa asing. Deretan 16 bahasa asing, mulai dari bahasa Spanyol dan Jepang yang menjadi dua bahasa awal dipilih saat belajar melalui aplikasi DuoLingo adalah salah satu gambaran bukti ketertarikan kepada belajar bahasa negara lain, bahkan bahasa daerah lain.
Yang menjadi dampak kurang baiknya adalah ketidakfokusan mau menguasai bahasa apa dulu, yang kemudian semakin rumit karena niat belajar di DuoLingo malah terpengaruh faktor “mempertahankan streak” yang sudah menginjak angka 586 hari, tentunya perlu diperjelas dan diatur arah tujuan belajar ini, di tengah aktivitas mengikuti berbagai kelas daring dan kegiatan lainnya.
Masih sama saja sepertinya, dengan apa yang pernah disampaikan oleh guru les bahasa Inggris di salah satu tempat kursus di kota kelahiranku saat mengomentari tugas/ujian writing, pola tulisanku lebih banyak pendahuluan dan tidak jelas juntrungannya, tapi semoga di tulisan ini ada manfaat yang bisa dipetik.
Balik ke topik tadi. Ya sebisa mungkin saat bertemu dengan orang dari negara atau bahkan daerah lain di Indonesia, sampai saat ini saya mencoba untuk bisa menguasai setidaknya beberapa frase atau kalimat menyapa.
Contohnya:
“Apa kabarmu?“
“Keyf halak?” atau “Isy akhbarak?” (bahasa Arab)
“Ogenki desuka?” (bahasa Jepang)
“Ni shenti hao ma?” (bahasa Mandarin, mestinya ada tanda nada tiap suku kata)
“Kumusta ka?” (bahasa Tagalog Filipina)
Dan setidaknya bisa merespon tiap kalimat pertanyaan kabar tersebut.
“Alhamdulillaah bilkhoir“
“Genki desu“
“Wo hen hao, ni ne?“
“Mabuti naman“
Dan beberapa frase/kalimat sapaan lainnya seperti “selamat pagi/siang/sore/malam”, yang sebetulnya seperti saat ada orang dari negara lain di negeri perantauan lalu tau kita orang Indonesia dan mereka menyapa kita dalam bahasa Indonesia. Bagaimana perasaan kita? Tentu senang bahkan bahagia terharu karena orang dari negara lain menyapa kita dalam bahasa Ibu kita. Maka seperti itulah semestinya kita memperlakukan orang dari daerah/negara lain untuk menyapa. Ya setidaknya itu yang coba saya terapkan dari beberapa tahun lalu hingga terakhir bertemu dengan Bassam, nama mahasiswa program S-3 Teknik Perminyakan yang saya temui sepulang dari kantin tersebut.
Lho, orang Cina namanya malah “Bassam”?
Itu juga yang terlintas di benak saya saat beliau memberitau namanya.
“Just call me Bassam“, begitu jawabnya, karena saat beliau menyebutkan namanya dalam bahasa Mandarin saya langsung seolah ingin berkomentar “Hah? Apa? Bisa tolong dieja?“
Sekian tulisan ini, yang semoga menjadi pembuka konsisten produktif menulis sebisa mungkin, dan semoga ada manfaatnya.
Dhahran, 01 Rabiul Awwal 1442 H
Last Comments